A. TERBENTUKNYA KESADARAN NASIONAL
1. Lahirnya kelompok
intelektual
Sistem
diskriminasi rasial terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat baik
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Sistem yang
dikembangkan tersebut dikenal dengan Stelsel Kolonial. Masyarakat terbelah
dalam beberapa strata yaitu orang Belanda asli/totok, Belanda Campuran, Timur
Asing dan Bumi Putra (pribumi). Masyarakat pribumi ini masih memiliki
tingkatan-tingkatan seperti golongan bangsawan, priyayi dan rakyat biasa.
Dalam
masalah pendidikanpun juga terjadi diskriminasi, karena sekolah untuk
masyarakat Eropa, Timur Asing dan kelompok bangsawan berbeda dengan sekolah
untuk golongan pribumi. Untuk pribumi adalah sekolah kelas dua, yang hanya
untuk kemampuan membaca dan menulis. Dengan demikian golongan pribumi akan
tertinggal dalam bidang intelektual.
Salah satu ciri
masyarakat terjajah, adalah terbatasnya kaum cerdik pandai (intelektual). Jika
ingin merubah semua itu tentunya bagaimana rakyat dapat memperoleh kesempatan
belajar yang selama ini terjadi diskriminasi antara orang Belanda dengan kaum
Bumi Putra. Dalam rangka mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran ternyata masih ada sekelompok masyarakat di Belanda yang peduli akan
nasib rakyat Indonesia itu.
Pada tahun 1898,
dalam majalah de Gids, dia menulis artikel berjudul Een Ereschuld (Hutang
Kehormatan atau Hutang Budi). Dijelaskannya bahwa Belanda banyak
menyengsarakan rakyat Indonesia. Telah begitu besar kekayaan Indonesia mengalir
ke Belanda (politik batig slof). Untuk itu, perlu ada pengembalian
kepada bangsa Indonesia oleh pemerintah Belanda, karena itu merupakan suatu
hutang.
Terbatasnya
kaum cerdik pandai oleh karena bidang pendidikan bukan menjadi prioritas
Belanda. Pada masa VOC keinginan Belanda adalah bagaimana memperoleh kekayaan
sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya diambil kebijakan monopoli perdagangan.
Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa kesengsaraan
yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah
mengakibatkan rakyat Indonesia menderita.
Namun
karena desakan dari berbagai pihak terutama dari kalangan kaum liberal di
negeri Belanda lahir kemudian politik etis. Kebijaksanaan yang diambil sebagai
balas budi adalah dengan menerima konsep Th. C. Van Deventer yang dituangkan
dalam trilogi, yang meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Di
atas telah disebutkan, bahwa sistem pendidikan kolonial bersifat diskriminatif.
Pada mulanya, diperkenalkan Sekolah Kelas Dua untuk anak-anak pribumi dan
Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak pegawai negeri, orang-orang yang punya
kedudukan dalam masyarakat, dan masyarakat golongan “berpunya”. Bagi golongan
Eropa dan para bangsawan disediakan Sekolah Rendah. Sejak Abad ke-20 dibuka sistem
sekolah desa atau Volksschool yang lamanya tiga tahun. Bagi yang akan
melanjutkan, disediakan sekolah sambungan (Vervolgschool) selama dua
tahun.
Perkembangan sistem pendidikan itu sebenarnya menjadi
bumerang bagi Belanda di Indonesia. Walaupun sistem pendidikan Barat
memperkenalkan sistem nilai Barat, akan tetapi rasa kebangsaan rakyat Indonesia
tidaklah luntur. Hal itu terlihat dari munculnya semangat kebangsaan, yang
kemudian menjadi sebuah gerakan. Muncullah tokoh-tokoh pergerakan nasional,
seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan Surjadi Suryaningrat, tidak
dapat dilepaskan dari adanya kemajuan dalam bidang pendidikan tersebut. Melalui
ilmu yang diperoleh di bangku sekolah, kesadaran mereka justru tumbuh subur
untuk menyusun kekuatan, yang kemudian menjelma menjadi organisasi modern.
Semua itu tidak terlepas dari munculnya para intelektual yang akhirnya menjadi
pelopor pergerakan nasional.
Untuk mendukung pelaksanaan Politik Etis, pemerintah
Belanda mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik
Asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis antara
Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi). Dengan Politik Asosiasi dan
semboyan unifikasi, akan terjadi suatu proses pembelandaan terhadap
rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak
memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa
hasil. Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan
unggul, sehingga politik Asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik.
Belanda berperan sebagai Bapak dan Indonesia sebagai anak yang masih harus
dibina.
Setelah
dilaksanakannya Politik Etis sebagai salah satu kebijakan pemerintah Hindia
Belanda, banyak lembaga pendidikan mulai berdiri. Namun demikian ternyata
diskriminasi rasial menjadi salah satu hambatan masuk sekolah. Sistem
pendidikan juga dikembangkan disesuaikan dengan status sosial masyarakat
(Eropa, Timur Asing dan Bumiputra). Untuk kelompok bumiputra masih diwarnai oleh
status keturunan yang terdiri dari kelompok bangsawan kaum priyayi dn rakyat
jelata.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, maka struktur pendidikan terdiri dari pendidikan
dasar yang didalamnya ada ELS (Europese Legerschool) dan HIS (Holandsch
Inlandschool) untuk keturunan Indonesia asli yang berada pada golongan
atas. Sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan
Sekolah Kelas Dua.
Dalam pendidikan tingkat
menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer Uitegbreit
Ondewijs), AMS (Algemene Middelbare Aschool). Disamping itu juga ada
beberapa sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normaal School.
Untuk pendidikan tinggi, ada
Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Instituut voor Hoger Technisch Ondewijs in
Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi
Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS
(Geneeskundige Hogeschool).
Pendidikan
kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir
sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pda tahun 1875 diubah menjadi Ahli
Kesehatan Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya
pada tahun 1902 menjadi dokter Bumiputra (Inlandsch Arts). Sekolah ini
diberi nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang
kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische
Artsenschool).
Di
atas telah dikatakan bahwa munculnya sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan
dengan politik etis. Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan
pendidikan mengingat salah satu dari Trilogi van Deventer secara eksplisit
menyebutkan mengenai edukasi.
Jika dikaitkan
dengan lahirnya pergerkan nasional, peranan lulusan sekolah Belanda memiliki
posisi yang sangat penting. Hal ini terbukti dengan kehadirannya sebagai
pelopor dalam pergerakan nasional dengan mendirikan organisasi seperti studie
Fond maupun Budi Utomo.
2. Peranan Pers Dalam Pergerakan Nasional
Salah
satu hal mendasar yang dialami oleh para pejuang, khususnya pada masa
pergerakan nasional adalah bagaimana mengkomunikasikan perjuangan itu pada
pihak lain. Kurangnya komunikasi ini dapat memberikan dampak negatif dalam
sebuah perjuangan. Komunikasi sangat bermanfaat dalam upaya mengkoordinasikan
perjuangan. Salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan
perjuangan itu adalah melalui pers. Ketajaman “pena” pers itu dapat memberikan
motivasi pada para pejuang, sebab bagaimanapun sebuah terbitan pasti memiliki
“warna” dan nuansa yang subjektif.
Secara
umum, pers harus mampu memeperjuangkan objektivitas, menjadi alat pendidikan,
alat penyalur aspirasi, sebagai lembaga pengawasan dan juga sebagai upaya untuk
penggalangan opini umum. Dengan demikian, pers dapat berfungsi sebgai alat
perjuangan bangsa. Bagi bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional itu,
pers dapat berfungsi sebagai alat propaganda demi kepentingan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, kedudukan pers amat penting. Pers yang berbahasa Melayu, dalam
perjuangan bangsa Indonesia, amat penting karena dapat menarik pembaca dari
kelompok Bumi Putra. Keberadaan pers yang berbahasa Melayu merupakan ancaman
bagi pers Belanda atau pers Tionghoa. Oleh karena itu, dalam usaha untuk menarik
pembaca, pemerintah Belanda juga menerbitkan pers berbahasa Melayu.
Pers mampu memberikan
sumbangan terhadap timbulnya kesadaran bangsa Indonesia.
Sebagai contoh, setelah Budi Utomo
didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, surat edaran yang berkaitan dengan
pendirian BU itu dimuat dalam Surat Khabar De Locomotif dan Bataviaasch
Nieuwsblad. Hal yang sama juga dilakukan oleh majalah Jong Indie. Pemuatan
surat edaran
pendirian Budi Utomo itu memberikan nilai positif
karena masyarakat segera tahu sesuatu telah terjadi.
Memperingati 100 tahun
bebasnya negara ini dari kekuasaan Perancis mendapatkan reaksi yang amat keras.
Hal itu terlihat dari pemuatan tulisan Suwardi Surjaningrat dalam surat kabar de’
Express (surat kabar yang dimiliki Indische Partij). Peranan pers tidak
terbatas pada terbitan di Hindia Belanda. Di luar negeri pun (negeri Belanda)
Perhimpunan Indonesia menerbitkan Indonesia Merdeka. Penerbitan tersebut
memberikan sumbangan besar dalam mengkomunikasikan perjuangan bangsa Indonesia
di luar negeri. Ini terbukti dari seringnya Perhimpunan Indonesia mengikuti
pertemuan internasional.
B. MUNCULNYA ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL
Nasionalisme
jika dilihat dari aspek bahasa, memiliki akar kata Natie (Belanda), atau
nation (Inggris) yang berarti bangsa. Nasionalisme adalah faham yang
berkaitan denga kecintaan terhadap tanah air. Orang yang bersifat nasionalis
adalah orang yang mencintai bangsa dan tanah airnya. Kehadiran Jong Java
mendorong lahirnya beberapa perkumpulan serupa, seperti lahirnya Pasundan, Jong
Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Selebes, Timorees
ver Bond, PPPI (Perhimpunan Pelajar- Pelajar Indonesia), Pemuda Indonesia/
Jong Indonesia, Jong Islamienten Bond, Kepanduan, dan sebagainya. Semua
organisasi tersebut mendorong timbulnya kesadaran nasional bangsa Indonesia.
1. Budi Utomo (BU)
Budi
Utomo sebagai pelopor Pergerakan Nasional Indonesia memiliki semboyan hendak
meningkatkan martabat rakyat. Mas Ngabehi Wahidin Sudiro Husodo, seorang dokter
di Yogyakarta dan termasuk golongan priyayi rendahan. Dalam tahun 1906 dan 1907
mulai mengadakan kampanye di kalangn priyayi di pulau Jawa.
Di bawah pimpinan Wahidin Sudirohusodo,
diupayakan pengumpulan dana untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, didirikan Studie Fond. Studie ini
merupakan badan yang bertujuan mengumpulkan dana untuk memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada bangsa Indonesia
dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Cita-cita luhur itu ternyata
kurang memperoleh dukungan, khususnya, dari golongan priyayi. Usaha Wahidin
Sudiro Husodo tersebut, ternyata mempengaruhi jiwa Sutomo, seorang mahasiswa
STOVIA Jakarta.
Pada tanggal 20 Mei 1908,
para mahasiswa STOVIA memproklamasikan berdirinya Budi Utomo. Pada kesempatan
itu, Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya. Organisasi yang baru berdiri itu
menentukan keanggotaannya, dari golongan terpelajar (intelektual).
Pada awalnya, Budi Utomo bukanlah organisasi politik.
Hal itu dapat dilihat dari tujuan yang ingin dicapainya. Tujuan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Mengupayakan hubungan kekeluargaan atas segenap
bangsa Bumi Putera,
b. Mengadakan perbaikan pelajaran di sekolah-sekolah,
c. Mendirikan badan wakaf yang akan mengumpulkan dana
untuk kepentingan belanja anak-anak sekolah, dan
d. Memajukan kebudayaan dan menjunjung tinggi
cita-cita kemanusiaan dalam upaya mencapai kehidupan yang layak.
Budi Utomo mengadakan
Kongres pertama di Yogyakarta, pada tanggal 3 Oktober sampai dengan 5 Oktober
1908. Dalam kongres yang dihadiri delapan cabang tersebut, dihasilkan susunan
pengurus sebagai berikut:
Ketua : Raden Tumenggung Aryo Tirtokusumo (Bupati
Karanganyar)
Wakil Ketua : Wahidin Sudiro Husodo
Sekretaris I : Mas Ngabei Dwidjosewojo
Sekretaris II : Raden Sostrosugondo
Bendahara : Raden Mas Panji Gondoatmodjo
Komisaris : Raden Mas Arjo Surdiputro, R.M. Panji
Gondosumarjo, R. Djojosubroto, dan Tjipto Mangunkusumo.
Terpilihnya
R.T.A. Tirtokusumo, seorang bupati, ialah untuk lebih memberikan kekuatan pada
Budi Utomo, walaupuin dipilihnya karena ditunjuk oleh Gubernur Jenderal.
Sebagai bupati, ia diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam menggalang
keanggotaan Budi Utomo. Oleh karena ketuanya seorang bupati, Budi Utomo memilih
garis perjuangan kooperasi, artinya bersedia bekerjasama dengan Pemerintah
Kolonial Belanda.
Budi Utomo merupakan
pelopor organisasi moderen. Organissi ini menjadi model bagi gerakan
berikutnya. Walaupun ruang lingkup kegiatan Budi Utomo terbatas pada golongan
terpelajar dan wilayahnya meliputi Jawa, Madura dan Bali, akan tetapi Budi
Utomo menjadi tonggak awal kebangkitan nasional. Karena itu, oleh Bangsa
Indonesia, kelahiran Budi Utomo
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Keputusan tersebut
tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 31, tanggal 16
Desember 1959.
2. Sarekat Islam (SI)
Semula,
organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada tahun
1911 oleh Haji Samanhudi. Kelahiran SDI didorong dengan adanya keinginan untuk
bersaing dengan pedagang Tionghoa dalam monopoli perdagangan batik di Solo.
Dengan sistem monopoli yang dilakukan oleh para pedagang Tionghoa itu, para
pengrajin batik yang ada di Solo sangat dirugikan, terutama dalam penentuan
harga.
SDI
didirikan di Kota Solo oleh H. Samanhudi dengan maksud untuk memajukan
perdagangan di bawah panji-panji Islam, SDI juga memiliki tujuan seperti yang
terumus dalam anggaran dasarnya sebagai berikut,
a. Mengembangkan jiwa berdagang,
b. Memberi bantuan kepada para anggotanya yang mengalami
kesukaran,
c. Memajukan pengajaran dan mempercepat naiknya derajat Bangsa
Bumi Putra, dan
d. Menggalang persatuan umat Islam khususnya dalam memajukan
kehidupan Agama Islam.
Ruang
lingkup keanggotaan SDI terbatas (hanya pedagang yang beragama Islam). Itu
merupakan penghalang bagi upaya SDI untuk menjangkau keanggotaan yang lebih
luas. Oleh karena itu, ada keinginan agar SDI menjelma menjadi organisasi
massa. Untuk itu, pada tahun 1912, Sarekat Dagang Islam diubah menjadi Sarekat
Islam (SI). Dengan perubahan itu, Sarekat Islam menjadi organisasi yang terbuka
sehingga memungkinkan untuk menjangkau keanggotaan yang lebih banyak karena
Islam menjadi identitas pribumi.
Sarekat
Islam berkembang dengan pesat karena Agama Islam menjadi motivasinya.
Perkembangan Sarekat Islam amat mengkhawatirkan Belanda. Dalam rangka
memantapkan keberadaan Sarekat Islam, ada upaya untuk mendapatkan badan hukum
dari Pemerintah Kolonial Belanda. Karena itu, Sarekat Islam mengajukan badan
hukum. Keinginan tersebut, ternyata ditolak oleh Belanda, yang memperoleh badan
hukum justru Sarekat Islam lokal, sehingga terjadi perpecahan diberbagai
daerah.
Perpecahan
semula terjadi antara Agus Salim dan Abdul Muis dengan Semaun. Kedua tokoh itu
memiliki pandangan yang bertolak belakang. Agus Salim adalah seorang yang
agamis (religius), sedangkan Semaun seorang sosialis (bahkan komunis). Dalam
Kongres Sarekat Islam, tahun 1921, dilakukan disiplin partai. Tidak
diperkenankan adanya keanggotaan rangkap maupun jabatan rangkap antara SI
dengan oraganisasi lain.
3. Perhimpunan Indonesia
Orang-orang Indonesia
yang ada di Negeri Belanda pada tahun 1908, mendirikan organisasi yang diberi
nama Indische Vereniging. Pelopor berdirinya organisasi ini adalah
Sultan Kasayangan seorang mahasiswa dan Noto Suroto seorang penyair dari
Jogjakarta. Tujuan yang dirumuskan oleh organisasi ini adalah memajukan
kepentingan bersama atas orang-orang yang berasal dari Indonesia, baik yang
pribumi maupun nonpribumi, yang ada di Negeri Belanda. Dalam perkembangannya, Indische
Vereniging, pada tahun 1925, diganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia,
dan sejak itu nama perkumpulan ini menggunakan istilah “Indonesia”. Hal ini
menjadi penting karena mulai digunakan kata Indonesia sebagai upaya menunjukkan
identitas kita.
Kedatangan tokoh-tokoh
pergerakan nasional ke Negeri Belanda seperti Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suryaningrat, dan Muhammad Hatta sangat menguntungkan perkembangan Perhimpunan
Indonesia. Pada masa kepemimpinan Muhammad Hatta, aktivitas Perhimpunan
Indonesia semakin meluas.
Perhimpunan Indonesia banyak mengikuti pertemuan
internasional, seperti konferensi internasional yang diadakan di Paris dan
Belgia, sehingga mereka dapat mengomunikasikan perjuangan Bangsa Indonesia
kepada dunia internasional. Perjuangannya bersifat non-cooperasi dan self help.
PI memiliki media, yaitu majalah Hindia Putra. Melalui media ini perjuangan dan
cita-cita Bangsa Indonesia disampaikan kepada pihak lain. Untuk lebih
menunjukkan sifat ke-Indonesiaannya, nama Hindia Putra diganti menjadi
Indonesia Merdeka. Keberadaan PI dalam sejarah Pergerakan Nasional memiliki
arti penting mengingat organisasi itu juga membuka keanggotaannya untuk semua
mahasiswa yang ada di Hindia Belanda.
4.
Indische Partij (IP)
Indische Partai
didirikan pada tanggal 2 Desember 1912 sebagai organisasi politik didirikan
oleh Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan seorang keturunan Belanda
yaitu E.F.E. Douwes Dekker.
Pendirian Indische
Partij juga dimaksudkan untuk menggantikan Indische Bond yang
merupakan organisasi orang-orang Indo dan Eropa di Indonesia. Tujuan yang ingin
dicapai oleh Indische Partij adalah membangun patriotisme sesama “Indiers”
terhadap tanah air yang memberi lapangan hidup kepada mereka. Tujuannya adalah
bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan dalam memajukan tanah air.
Dalam upaya
mempertahankan keberadaannya sebagai organisasi, para pemimpinnya berupaya agar
mendapatkan pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi usaha itu
gagal karena pemerintah Hindia Belanda dengan segala cara selalu melarang
berdirinya organisasi yang dianggap membahayakan. Bab V Proses Terbentuknya Kesadaran Nasional 77
Dengan
semboyan Indie voor Indiers yang artinya Indonesia untuk Bangsa
Indonesia, organisasi itu berusaha membangkitkan semangat cinta tanah air
walaupun tanpa badan hukum. Karena gerakannya yang radikal, organisasi itu
dianggap berbahaya. Akibatnya, para pemimpinnya mendapatkan kesulitan dalam
melakukan aktivitas organisasi. Lebih-lebih setelah terjadi polemik Suwardi
Surjaningrat dengan pemerintah Belanda dalam artikelnya “Als ik een
Nederlanders was” yang dimuat dalam de’Express. Polemik itu terjadi
setelah tulisaannya itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu/Indonesia. Akibatnya
para pemimpinnya ditangkap dan diasingkan ke negeri Belanda.
5.
Indische Social Democratische Vereniging (ISDV)
Para pegawai
Belanda di Indonesia, semula, mendirikan Indische Social Democratische
Veregining (ISDV). Dalam perkembangannya, ISDV, pada tanggal 20 Mei 1920,
diubah menjadi Partai Komunis Hindia. Setelah itu, diubah lagi menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pengurusnya ialah Semaun (Ketua), Darsono (Wakil
Ketua), Bergsma (Sekretaris) dan anggota pengurus yang terdiri dari Baars,
Sugono, dan H.W. Dekker sebagai bendahara. Partai Komunis Indonesia (PKI)
secara resmi berdiri tanggal 23 Mei 1920. Tokoh yang ada di belakang pendirian
PKI adalah Sneevlit, seorang pegawai Belanda yang dikirim ke Indonesia.
Pada tanggal 13
November 1926, PKI mengadakan pemberontakan di Banten, Sumatera disusul
tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Banyak
penangkapan terhadap tokoh perjuangan, yang dibuang ke Digul dan Tanah Merah.
6.
Partai Nasional Indonesi (PNI)
Partai Nasional
Indonesia (PNI) lahir di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Kelahiran PNI tidak
terlepas dari peranan Algemeen Studie Club, yaitu suatu kelompok studi
para mahasiswa di Bandung. Rapat pendirian PNI, dihadiri oleh Ir. Soekarno, dr.
Tjipto Mangunkusumo, Sudjadi, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Mr. Budiarto dan Mr.
Soenarjo. Pada rapat pendirian tersebut, terbentuklah susunan pengurus yang
disahkan dalam kongres PNI pertama di Surabaya tanggal 27 sampai 30 Mei 1928.
Susunan pengurusnya adalah sebagai berikut:
Ketua/Pemuka : Ir.
Soekarno
Sekretaris/Bendahara
: Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo
Anggota : dr.
Samsi
Mr. Sartono
Mr. Soenarjo
Ir. Anwari
Dalam Kongres tersebut juga mengesahkan program kerja yang
meliputi bidang politik untuk mencapai Indonesia merdeka, memajukan
perekonomian nasional, dan memajukan pelajaran nasional. Oleh karena itu, dalam
mewujudkannya kemudian didirikan sekolah-sekolah, poliklinik-poliklinik, bank
nasional, dan perkumpulan koperasi. Garis perjuangan PNI adalah non-cooperative,
artinya tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
Karena ketatnya
pengawasan politik oleh pihak kolonial Belanda, para tokoh PNI kemudian
ditangkap pada tahun 1930. Akibatnya, Soekarno, Gatot Mangkuprodjo, Markum
Sumodiredjo, dan Supriadinata ditangkap dan dajatuhi hukuman oleh pengadilan
Bandung. Dalam sidang tersebut, Soekarno menulis pembelaan deangan judul Indonesia
Menggugat.
Penangkapan
terhadap tokoh PNI merupakan pukulan berat sehingga menggoyahkan kehidupan partai
tersebut. Dalam suatu kongres luar biasa di Jakarta tanggal 25 April 1931,
diambil keputusan bahwa PNI dibubarkan. Pembubaran PNI ini membawa perpecahan
pada para pendukungnya. Sartono kemudian mendirikan Partindo sedangkan Moh.
Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia).
7.
Permufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
Pendirian PPPKI
atas usul PNI bersama-sama Sarekat Islam, BU, Pasundan, Sumatransche Bond,
Kaum Betawi, Indonesische Studie Club, dan Algmeen Studie Club.
Kesepakatan itu terjadi dalam rapat tanggal 17 sampai 18 Desember 1927. Tujuan
yang ingin dicapai dari federasi ini adalah kesatuan aksi dalam menghadapi
imperialisme Belanda.
Sebagai suatu
federasi dari gerakan kebangsaan PPPKI, mampu mengordinasikan gerakan yang ada,
baik yang radikal maupun yang maderat. Upaya PPPKI yang memberikan sumbangan
terhadap perjuangan Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
PPPKI mendirikan badan yang bertugas memberikan bantuan terhadap pembebasan
pelajar di negeri Belanda.
b.
PPPKI mengadakan rapat tahun 1930 karena terjadinya penangkapan terhadap para
pemimpin Frond Nasional yang diharapakan dapat memberikan bantuan
terhadap keluarga yang ditinggalkan karena masuk penjara Belanda.
c.
PPPKI ikut menghadiri Kongres Indonesia Raya tahun 1932. Dalam kongres itu
diusahakan peredaan ketegangan diantara organisasi-organisasi politik yang ada
di Indonesia.
8.
Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
TekananPemerintahan
Kolonial Belanda mengakibatkan PPPKI sebagai suatu federasi tidak dapat
menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, dalam rapat pendirian Concentrasi
Nasional yang diadakan tanggal 21 Mei 1939 di Batavia, didirikan GAPI,
sebuah federasi baru. Yang menjadi anggotanya adalah Parindra, Gerindro,
Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Partai Katolik. Yang menjadi latar
belakang berdirinya GAPI adalah:
a.
kegagalan Petisi Sutardjo,
b.
kegentingan nasional akibat timbulnya bahaya fasis, dan Bab V Proses Terbentuknya Kesadaran
c. sikap pemerintah kolonial Belanda yang
kurang memperhatikan kepentingan Bangsa Indonesia.
Di dalam anggaran
dasarnya, GAPI mencantumkan hak untuk menentukan sendiri, persatuan nasional,
dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Semboyan yang dikumandangkan
dalam konferensi pertamanya tanggal 4 Juli 1939 adalah Indonesia berparlemen.
GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan nama Manifesto GAPI yang
isinya menyerukan kepada semua pihak untuk waspada terhadap bahaya fisis. Untuk
pertama kalinya, GAPI dipimpin oleh M.H. Husni Tamrin, Amir Syarifuddin, dan
Abikusno Tjokrosujono.
9.
Partai Indonesia Raya (Parindra)
Adanya tekanan terhadap organisasi politik non
cooperative oleh pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan Studie Club mulai
memfungsikan dirinya dalam membina kader-kader bangsa. Karena itulah, Indonesische
Studie Club Surabaya yang dipimpin oleh dr. Sutomo mulai mengembangkan
pengaruhnya di kalangan masyarakat. Diubahlah Indonesische Studie Club menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada tahun 1931. PBI merupakan salah satu
cikal bakal dari Parindra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar